Blogger Jateng

Apa itu Hadits Dha'if, bolehkah mengamalkannya.?

Hadits-Hadits

Sebagai salah satu dari sumber hukum Islam adalah Hadîts. Hadits berfungsi menjelaskan, mengukuhkan serta melengkapi firman Allah SWT yang terdapat didalam al-Qur'ân. Di antara berbagai macam Hadîts itu, ada istilah Hadîts Dha'if. Dalam pengamalannya, terjadilah berbeda pendapat di antara ulama. Sebagian kalangan ada yang melarang untuk mengamalkan Hadîts Dha'if. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Hadîts Dha'if bukanlah dari Nabi Muhammad SAW. Lalu apa sebenarnya yang disebut dengan Hadîts Dha'if itu? Benarkah kita ini tidak boleh untuk mengamalkan Hadîts Dha'if?

Jawaban:

Secara umum Hadîts itu ada tiga macam. Pertama, Hadîts Shahîh, yaitu Hadîts yang diriwayatkan oleh orang yang adil, punya daya ingatan yang kuat, mempunyai sanad (mata rantai orang-orang yang meriwayatkan Hadîts) yang bersambung ke Rasûlullâh SAW, tidak memiliki kekurangan serta tidak syâdz (menyalahi aturan umum). Para ulama sepakat bahwa Hadîts ini dapat dijadikan dalil, baik dalam masalah hukum, aqidah dan lainnya. Kedua, Hadîts Hasan, yakni hadîts yang tingkatannya berada di bawah Hadîts Shahîh, karena para periwayat Hadîts ini memiliki kualitas yang lebih rendah dari para perawi Hadîts Shahîh. Hadîts ini dapat dijadikan sebagai dalil sebagaimana Hadîts Shahîh. Ketiga, Hadîts Dha'îf, yakni hadîts yang bukan Shahîh dan juga bukan Hasan, karena diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan sebagai perawi Hadîts, atau para perawinya tidak mencapai tingkatan sebagai perawi Hadîts Hasan.

Hadîts Dha'îf ini terbagi menjadi dua. Pertama, ada riwayat lain yang dapat menghilangkan dari ke-dha'if-annya. Hadîts semacam ini disebut Hadîts Hasan li Ghairih, sehingga dapat diamalkan serta boleh dijadikan sebagai dalil syar'î. Kedua, Hadits yang tetap dalam ke-dha'if-annya. Hal ini terjadi karena tidak ada riwayat lain yang menguatkan, atau karena para perawi Hadîts yang lain itu termasuk orang yang dicurigai sebagai pendusta, tidak kuat hafalannya atau fasiq.

Dalam kategori Hadits yang kedua ini, para ulama mengatakan bahwa Hadîts Dha'if hanya dapat diberlakukan dalam hal fadhâ'il al-a'mâl. Bahkan ada sebagian dari ulama yang mengatakan bahwa telah terjadi Ijma' di kalangan para ulama tentang kebolehan mengamalkan Hadîts Dha'if jika berkaitan dengan hal fadhâ'il al-a'mâl ini. Sedangkan dalam masalah Hukum, Tafsir ayat al-Qur'ân, serta Akidah, maka apa yang termaktub dalam Hadîts Dha'îf tersebut tidak dapat dijadikan pedoman dan sandaran. Sebagaimana yang disampaikan oleh Sayyid Muhammad 'Alawî al-Mâlikî dalam kitabnya Majmû' Fatâwî wa Rasâ'il:

أجمع أهل الحديث وغيرهم على أن الـــحــــديث الضعيف يعمل به في فضائل الأعمال وممن قال بذلك الإمام أحمد ابن حنبل وابن المبارك والـــسفــــيانان والعنبري وغيرهم . فقد ثقل عنهم أنهم قالوا إذا روينا في الحلال والحرام شددنا وإذا روينا في الفضائل تساهلنا . (مجموع فتـاوى ورسائل، ٢٥١)

“Para ulama ahli hadîts dan lainnya sepakat bahwa Hadîts Dha'îf dapat dijadikan pedoman dalam masalah fadhâ'il al-a'mâl. Di antara ulama yang mengatakannya adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Ibn Mubarak, dua Sufyan, al-`Anbarî, serta ulama lainnya. (Bahkan) Ada yang menyatakan, bahwa mereka pernah berkata, “Apabila kami meriwayatkan (hadîts) menyangkut perkara halal ataupun yang haram, maka kami akan berhati-hati. Tapi apabila kami meriwayatkan hadits tentang fadhâ'il al-A`mâl, maka kami melonggarkannya.” (Majmû' Fatâwî wa Rasail, 251)

[Yang dimaksud dengan fadhâ'il al-a'mâl adalah setiap ketentuan yang tidak berhubungan dengan akidah, tafsir atau hukum, yakni Hadîts-Hadits yang menjelaskan tentang targhib wa tarhîb (janji-janji dan ancaman Allah SWT).]

Bahkan Imam Ahmad mengatakan:

ان ضعيف الحديث يقدم على رأي الرجال (مجموع فتاوى ورسائل ، ٢٥١)

"Sesungguhnya hadits dha'if itu didahulukan dari pendapat seseorang." (Majmu' Fatawi wa Rasa'il, 251)

Syarat Mengamalkan Hadits Dhaif


Namun walaupun begitu, kebolehan ini harus memenuhi tiga syarat. [Pertama], bukan Hadîts yang sangat dha'if.

[Sebagian ulama lain mengatakan bahwa kebolehan mengamalkan Hadîts Dha'if ada dua syarat. Pertama, lafadz hadîts tersebut tidak disandarkan langsung pada Nabi Muhammad SAW. Kedua, Hadîts tersebut tidak bertentangan dengan Hadits Shahih yang lain, atau hukum-hukum yang telah diketahui secara umum lihat.. Syaikh 'Alauddin Ibn al-Atthar dalam Fatawi al-Imam ( معلوم من الدين بالضرورة ) al-Nawawi al-Musammat bi al-Masa'il al-Mantsürah hal. 302-303.]

Karena itu, tidak boleh mengamalkan Hadîts yang diriwayatkan oleh orang yang sudah terkenal sebagai seorang pendusta, bersifat fâsiq, dan orang yang sudah terbiasa berbuat salah dan semacamnya. [Kedua], masih berada di bawah naungan ketentuan umum serta kaidah-kaidah yang universal. Dengan kata lain, Hadîts tersebut tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah agama, tidak sampai menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. [Ketiga], tidak berkeyakinan bahwa perbuatan tersebut berdasarkan Hadîts Dha'if, namun perbuatan itu dilaksanakan dalam rangka ihtiyâth (berhati-hati dalam masalah agama).27

Maka, dapat kita ketahui, walaupun Hadits Dha'if diragukan kebenarannya, namun tidak serta-merta ditolak dan tidak dapat diamalkan. Dalam hal-hal tertentu masih diperkenankan mengamalkannya dengan syarat-syarat sebagai mana tersebut di atas

Posting Komentar untuk "Apa itu Hadits Dha'if, bolehkah mengamalkannya.?"