Blogger Jateng

Apa perbedaan antara Taqlid dan Ittiba.?


Secara kodrat, manusia di alam dunia ini terbagi menjadi dua kelompok besar. Ada yang berilmu (pintar dan ada yang cerdas serta ahli dalam bidang tertentu) dan ada 'awâm (yang kurang mengerti dan memahami suatu permasalahan). Sudah tentu yang tidak paham butuh bantuan yang berilmu. Di dalam literatur kitab fiqh, hal itu dikenal dengan istilah Taqlîd dan Ittibâ'. Lalu apa yang dimaksud dengan istilah kata Taqlîd dan Ittibâ' itu? Dan apa perbedaan diantara keduanya?

Jawaban:

Syaikh Muhammad Sa'îd Ramadhân al-Bûthî mendefinisikan Taqlîd sebagai berikut:

والتقليد هو اتباع قول انسان دون معرفة الحجة على صحة ذلك القول ، وان توفرت معرفة الحجة على صحة التقليد نفسه . (اللامذهبية اخطر بدعة تهدد الشريعة الإسلامية ، ٦٩)

"Dan Taqlîd itu adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengerti dalil yang digunakan atas keshahihan pendapat tersebut, walaupun mengetahui tentang keshahihan hujjah taqlîd itu sendiri. "(Al-Lâmadzhabiyyah Akhtharu Bid'ah Tuhaddid al-Syarî'ah. al-Islâmiyyah, 69)

[Karena itu, orang yang mengatakan "orang itu bertaqlîd tentang suatu perkara", maka yang dimaksud adalah seseorang mengikuti pendapat dalam suatu urusan tanpa tahu dan mengerti apalagi memikirkan dalil yang digunakan oleh orang yang diikutinya. Lihat.. Louis al-Munjid Fi al-Lughah Wa al-A'lam, 649.]

Taqlid itu hukumnya adalah haram bagi seorang mujtahid dan wajib bagi orang yang bukan mujtahid. 

Imam Jalaluddin al-Suyûthî mengatakan:

ثم الناس مجتهد وغيره . فغير المجتهد يلزمه التقليد مطلقا . عاميا كان أو عالما ، لقوله تعالى : فاسئلوا أهل الـــــذكر إن كنتم لاتعلمون . (الكوكب الساطع في نظم جمع الجوامع . ج۲ ص ٤٩٢)

"Kemudian, manusia itu ada yang menjadi Mujtahid dan ada yang bukan Mujtahid. Bagi yang bukan mujtahid wajib bertaqlîd secara mutlaq, baik ia seorang awam ataupun orang yang alim. Berdasarkan firman Allah SWT (QS. Al-Anbiya' 7), "Bertanyalah kamu kepada orang yang ahli (dalam bidangnya) jika kalian tidak tahu." (Al-Kawkab al-Sâthi' fî Nazhm Jam' al-Jawâmi', 492)

Dengan demikian, taqlîd itu tidak hanya terbatas kepada orang 'awâm saja. Orang-orang berilmu yang sudah mengetahui dalil pun masih dalam kategori seorang Muqallid. Selama belum sampai pada tingkatan seorang Mujtahid, mereka tetap wajib ber-taqlid, sebab pengetahuan mereka hanya sebatas dalil yang digunakan, tidak sampai kepada proses, metode dan seluk-beluk Ijtihad dalam menentukan suatu hukum. 

Al-'Allâmah Thayyib bin Abî Bakr al-Hadhramî menuturkan.:

أما العالم الذي لم يبلغ رتبة الإجتهاد فهو كالعامي في وجوب الـــــــــتقليد (مطلب الإيقاظ في الكلام على شيء من غرر الألفاظ ، ۸۷)

"Adapun Orang "âlim yang tidak sampai pada tingkatan ijtihad, maka hukumnya seperti orang 'awâm, dalam hal berkewajiban Taqlîd". (Mathlab alÎqâzh fî al-Kalâm 'alâ Syai'in min Ghurar al-Alfâzh, 87)

Jadi, tidak semua taqlîd itu bersifat tercela. Yang tercela hanyalah taqlîd buta (a'mâ) yang menerima suatu pendapat mentah-mentah, tanpa mengerti, memahami dan berusaha untuk mengetahui dalilnya atau sumbernya. Sedangkan taqlid-nya orang berilmu ('âlim) yang belum sampai pada tingkatan seorang mujtahid, adalah hal yang terpuji bahkan dianjurkan. Hal itu tentu lebih baik daripada "memaksakan" diri untuk bisa berijtihad padahal tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya.

Taqlîd adalah sesuatu yang harus bagi setiap orang Islam. Setidak-tidaknya ketika awal melaksanakan bagian dari ajaran Islam. Seperti orang yang bersedekap ketika di dalam shalat, mengangkat tangan ketika takbîratul ihrâm, dia tentu melakukannya walaupun masih belum meneliti dalilnya, apakah shahîh ataukah tidak.

Jika di kemudian hari dia tahu argumentasinya, maka berarti dia telah keluar dari zona taqlîd a'mâ (taqlîd buta) yang tercela itu. Namun demikian dia tetap berstatus sebagai seorang muqallid, karena tidak tahu dalil-dalil tersebut secara detail dan terperinci. Setidaknya, dalam cara mengambil suatu kesimpulan (Istinbath) hukum, ia masih mengikuti metode dari salah satu imam mujtahid tertentu.

Sesungguhnya Taqlid itu berlaku dalam berbagai persoalan kehidupan ini. Misalnya Seorang dokter, ketika memberikan resep obat kepada pasiennya, tentu dia mengambilnya dari apotik, bukan dari obat hasil temuannya sendiri. Dia cukup membeli produk perusahaan obat tertentu yang bonafit. Begitu juga seorang guru Geografi di sekolah ketika menerangkan kepada murid-muridnya bahwa bumi ini adalah bulat, dia hanya mengikuti teori Galileo Galilei dan Thomas Copernicus, bukan dari hasil penelitiannya sendiri. Dan begitu seterusnya.

Kemudian, bagaimana dengan Imam Abû Dâwûd r.a yang meriwayatkan ucapan Imam Ahmad bin Hanbal:

وقال لي أحمد لا تقلدني ولا مالكا ولا الــــــــافعي ولا الأوزاعي ولا الثوري، وخذ من حيث أخذوا . (القـول المفيد للإمام محمد بـن على الشوكاني ٦١)

“Berkata Imam Ahmad kepadaku, "Janganlah kamu ber-taqlîd kepadaku, juga kepada Imam Mâlik, Imam Syafi'î, al-Awza'î, dan al-Tsaurî. Tapi galilah dalil-dalil hukum itu sebagaimana yang mereka lakukan." (Al-Qawl al-Mufid li al-Imâm Muhammad bin ´Alî al-Syawkânî, 61)

Coba perhatikan dengan seksama, kepada siapakah Imam Ahmad bin Hanbal berbicara.? Beliau menyampaikan ucapannya itu kepada Imam Abû Dâwûd pengarang Kitab Sunan Abî Dâwûd yang memuat lima ribu dua ratus delapan puluh empat Hadîts lengkap dengan sanadnya. Tidak kepada orang Awam atau masyarakat kebanyakan. Sehingga wajar, kalau Imam Ahmad mengatakan hal itu kepada Imam Abû Dâwûd, sebab Imam Abu Dawud telah memiliki kemampuan untuk berijtihad sendiri. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Syaikh Waliyullâh al-Dahlawî ketika mengomentari pendapat Ibn Hazm:

فما ذهب إليه ابن حزم حيث قال : التقليد حرام .. الى ان قال .. أنما يتم في من له ضرب من الإجتهاد ولو في مسألة واحدة . (حجة الله البالغة ، ج 1 ا ص 443-444)

"Pendapat Ibn Hazm yang mengatakan bahwa taqlîd itu adalah haram..(dan seterusnya).. itu hanya berlaku bagi orang yang mempunyai kemampuan ijtihad walaupun hanya dalam satu masalah." (Hujjatullâh al-Bâlighah, juz I, hal 443-444)

Membebani orang 'awâm al-muslimîn (masyarakat kebanyakan) dengan ijtihad sendiri-sendiri, jelas memberatkan dan mustahil. Karena minat setiap orang pada bidang-bidang ilmu pengetahuan itu berbeda-beda. Sedangkan yang menekuni ilmu agama tidaklah banyak. Bagi orang yang tidak sempat mempelajari ilmu agama, maka ia harus bertanya dan mengikuti orang-orang yang paham tentang masalah agama.

Al-Qur'ân sudah menyatakan agar ada sekelompok orang yang menekuni ilmu agama, tidak perlu semuanya. Sehingga mereka dapat memberikan fatwa kepada yang lainnya. Allah SWT berfirman:

وما كان المؤمنون لينفروا كافة فلولا نفر من كل فرقة منهم طائفة ليتفقهوا في الــــدين ولينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم لعلهم يحذرون (التوبة، ۱۲۲)

"Tidak seharusnya semua orang mukmin itu berangkat ke medan perang. Mengapa tidak berangkat satu rombongan dari tiap-tiap golongan untuk mempelajari dengan mendalam ilmu agama agar mereka dapat memberikan peringatan (pelajaran) kepada kaumnya apabila mereka sudah kembali. Mudah-mudahan mereka waspada." (QS. al-Taubah, 122)

Sahabat Nabi SAW adalah orang-orang yang terpilih. Meskipun begitu, kualitas keilmuan mereka tidak sama, dan tidak semua mereka menjadi mujtahid. Sebagian mereka menjadi mufti, sebagian lain bertanya dan mengikuti apa yang difatwakan sahabat yang lain. Dan Rasûlullâh SAW mengutus beberapa sahabat ke berbagai daerah untuk menyebarkan agama Islam serta menyelesaikan semua persoalan yang terjadi, baik dalam bidang ibadah atau mu'amalat, sosial kemasyarakatan, menjelaskan halal dan haram dan semacamnya. Lalu penduduk di daerah itu mengikuti apa yang difatwakan para sahabat tersebut.

Kaitannya dengan Ittibâ', sebagian orang ada yang membedakan dengan Taqlîd. Namun sebenarnya tidak ada perbedaan dalam kedua kata itu. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Syaikh al-Bûthî:

ولا فرق بين أن يسمى هذا العمل تقليدا أو اتباعا. فكلاهما بمعنى واحد، ولم يثبت أي فرق لغوي بينهما. (اللامذهيبة أخطر بـدعة تهدد الشريعة الإسلامية، ص 69)

"Tidak ada perbedaan kalau perbuatan itu disebut dengan Taqlîd atau Ittibâ'. Sebab kedua kata itu mempunyai arti yang sama. Dan tidak terbukti adanya perbedaan secara bahasa antara keduanya." (Al-Lâmadzhabiyyah Akhtharu Bid'ah Tuhaddid al-Syarî'ah al-Islâmiyah, 69)

Bahkan kata Ittibâ' tidaklah selalu memiliki arti baik. Tidak jarang di dalam al-Qur'ân, kata ittibâ' ditujukan untuk sesuatu yang tidak terpuji, sebagaimana firman Allah SWT:

و لا تتبعوا خطوات الشيطان إنه لكم عدو مبين . (البقرة ، ١٦٨)

"Dan janganlah kamu mengikuti (ittibâ') langkah-langkah setan karena sesungguhnya dia merupakan musuh yang nyata bagi kalian." (QS. Al-Baqarah, 168)

Hal tersebut berarti taqlîd merupakan Sunnatullâh (hukum alam) yang tidak dapat dipungkiri dan dihindari keberadaannya ataupun diperjuangkan untuk ditiadakan atau di Tenggelamkan. Namun demikian, bukan berarti umat Islam harus terperangkap kepada Taqlîd Buta, karena akan menggambarkan keterbelakangan serta rendahnya kualitas individu umat Islam. Itulah sebabnya ulama di pesantren mencetak ulama yang mumpuni.

Posting Komentar untuk "Apa perbedaan antara Taqlid dan Ittiba.?"