Fiqih Sosial KH. Sahal Mahfudh: Menyelami Kedalaman Nalar Seorang Mujaddid

KH. Sahal Mahfudh, ulama kharismatik dari Kajen Pati

Fikih Sosial KH. Sahal Mahfudh: Antara Intelektualitas, Spirit Tasawuf, dan Konteks Sosial Nusantara


Pernah suatu ketika, seorang teman lama menceritakan pengalaman menarik mengenai pemaparan fikih sosial ala KH. Sahal Mahfudh yang disampaikan oleh salah satu muridnya dalam forum akademik di sebuah universitas ternama. Respons peserta forum cukup beragam; ada yang mengapresiasi, namun tak sedikit pula yang menanggapinya secara kritis. Sebagian dosen bahkan menilai bahwa fikih sosial Kiai Sahal tak jauh berbeda dengan metode fatwa konvensional yang berbasis pada kerangka normatif dan metodologis yang sudah mapan dalam tradisi keilmuan Islam.

Pandangan semacam itu memang bisa dibenarkan jika hanya melihat permukaan metodologinya saja. Namun, menyederhanakan fikih sosial sebagai sekadar perluasan tema lokal atau variasi kecil dalam nalar fatwa adalah kesimpulan yang tergesa-gesa. Justru di situlah letak tantangannya: banyak pihak belum menangkap bahwa kekuatan sejati fikih sosial ini terletak pada sisi ontologisnya—yakni bagaimana realitas sosial diposisikan sebagai bagian penting dari bangunan hukum Islam. Hal ini bukan sekadar adaptasi, tetapi sebuah langkah revolusioner dalam menjawab persoalan umat secara kontekstual.

Rumusan fikih sosial Kiai Sahal memiliki karakter sangat kuat karena mampu mengikat perhatian dan kesadaran masyarakat untuk bertindak. Bukan karena paksaan, melainkan karena muatan hujjahnya yang mendalam dan membumi. Ini bukan jenis fatwa yang datang dari ruang-ruang akademik yang steril, melainkan lahir dari kontemplasi, pengalaman sosial, dan spiritualitas mendalam. Bahkan, tanpa bersuara keras, fatwa-fatwa beliau memiliki daya gugah yang kuat dan menghadirkan solusi nyata bagi umat.

Yang jarang disadari, fikih sosial Kiai Sahal sejatinya merupakan pengejawantahan dari laku sufistik yang telah mengalami transformasi intelektual. Bukan sekadar rasionalisasi dari teks ke dalam konteks, tetapi lebih dalam lagi: menghidupkan teks dengan kepekaan hati dan mata batin. Sisi tasawuf inilah yang barangkali tertimbun oleh kerangka logika hukum yang kuat, hingga sebagian orang keliru menyangka fikih sosial hanyalah pendekatan rasional semata. Padahal, dasar sufistik yang tertanam dalam dirinya tak terpisahkan dari akar tradisi desa Kajen, tempat beliau ditempa sejak kecil.

Kita tak bisa melepaskan fikih sosial dari figur Mbah Mutamakkin, leluhur Kiai Sahal, yang dikenal sebagai seorang wali bertaraf tinggi dan menjadi ikon spiritual di kawasan Pantura. Kiai Sahal sering menziarahi makam beliau, dan dari sanalah jejak keilmuan dan sufistik yang khas itu terus hidup dan memengaruhi pendekatan Kiai Sahal dalam merumuskan hukum. Keterkaitan inilah yang menjadikan fikih sosial bukan hanya hasil perenungan ilmiah, tetapi juga buah riyadhah rohaniah yang mendalam.

Tak heran jika sebagian pihak kesulitan memahami fikih sosial secara utuh. Mereka terjebak dalam dikotomi antara ulama rusum (formalis) dan ulama hakikat (spiritualis), padahal Kiai Sahal berupaya menjembatani keduanya. Ia menyatukan dua pendekatan besar dalam Islam, yakni tekstual dan kontekstual, normatif dan eksistensial. Inilah wujud ontologi fikih sosial yang sering kali luput dibahas secara serius dalam diskursus akademik.

Sebagai penutup, saya tidak bermaksud menjelaskan secara teknis apa itu fikih sosial. Saya hanya ingin menegaskan bahwa menyamakan fikih sosial dengan fatwa biasa adalah bentuk penyempitan makna yang tidak adil. Jika ingin memahami lebih dalam, buku berjudul KH. M. A. Sahal Mahfudh: Mujaddid Fiqih Indonesia bisa menjadi referensi utama. Ditulis oleh murid beliau sendiri, buku ini menjadi upaya nyata untuk menggali dan menyusun kembali pemikiran-pemikiran besar sang Mujaddid yang masih terus relevan hingga kini—bahkan di tengah derasnya arus perubahan zaman.

0 Komentar

Posting Komentar