Ratib al-Haddad yang Dilarang oleh Kiai Imad, Dianjurkan oleh Kiai Soleh Darat
Kiai Ahmad Nuri dari Budur, Ciwaringin, Cirebon, yang merupakan murid dari Kiai Masduki Lasem, pernah mengajarkan bahwa amalan zikir atau wiridan itu sifatnya sangat personal, seperti pakaian yang cocok-cocokan. Ada orang yang merasa nyaman dengan wiridan shalawat, tapi tidak dengan hizib. Ada pula yang fokus pada membaca Al-Qur’an tanpa amalan wirid lain. Menurut Kiai Ahmad Nuri, ini ibarat seseorang yang merasa cocok mengenakan gamis, sementara yang lain lebih nyaman dengan kaos atau celana jeans.
Pendapat Kiai Imad yang mengatakan bahwa membaca Ratib al-Haddad tidak mendatangkan berkah dianggap oleh sebagian orang terlalu berlebihan. Kiai Imad mungkin memiliki pandangan pribadi mengenai keturunan Bā ‘Alawī, namun apakah itu cukup untuk menyimpulkan bahwa Ratib al-Haddad tidak berkah bagi yang mengamalkannya? Kecaman terhadap habib-habib yang dianggap tidak sesuai mestinya tidak harus menyeret amalan-amalan dari para leluhur yang sudah wafat. Zikir dan wirid memang cocok-cocokan, dan tidak semua orang akan merasakan hal yang sama dari amalan tertentu.
Dalam kitabnya Minhājul Atqiyā fī Syarh Ma‘rifah al-Adzkiyā (halaman 210), Kiai Soleh Darat menjelaskan bahwa tarekat al-Haddad yang dijalankan oleh sādah Bā ‘Alawī lebih utama bagi orang awam. Tarekat ini termasuk bacaan Ratib al-Haddad yang diistiqamahkan oleh para pengikutnya.
Meskipun saya pribadi tidak mengamalkan Ratib al-Haddad, karena saya lebih mengikuti amalan yang diajarkan oleh Kiai Makhtum Hannan dari Cirebon, namun saya mendukung teman-teman yang sudah biasa mengamalkan Ratib al-Haddad untuk terus istiqamah. Sayang sekali jika kebiasaan baik yang sudah lama dijalankan harus ditinggalkan hanya karena adanya pandangan yang berbeda.
Dalam Al-Qur’an pun Allah mengingatkan, “Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu berlaku tidak adil.”
0 Komentar