![]() |
Manuskrip Ba'alawi (ilustrasi) |
Komentar untuk Tulisan Kyai Kholili Kholil: Mengkaji Ulang Syuhrah wal Istifadlāh dalam Konteks Nasab Ahmad al-Muhājir
Tulisan ini adalah refleksi dari diskusi yang terjadi dalam sebuah grup WhatsApp, di mana saya merespons pandangan Kyai Kholili Kholil mengenai kesahihan nasab Ahmad al-Muhājir. Diskusi ini diwarnai dengan pertukaran argumen dan pembacaan ulang terhadap sumber-sumber sejarah yang relevan. Meskipun tulisan ini mungkin masih jauh dari sempurna, saya merasa perlu untuk membagikan pemikiran ini sebagai kontribusi dalam wacana yang ada.
1. Pangkal Masalah: 'Syak' terhadap Kesahihan Nasab Ahmad al-Muhājir
Kyai Kholili berpendapat bahwa terdapat keraguan atau 'syak' yang muncul dari penduduk Hadramaut terhadap kesahihan nasab Ahmad al-Muhājir. Dalam hal ini, Kyai Kholili mengutip redaksi dari kitab Tārīkh Bāmakhramah yang menggambarkan pengakuan awal penduduk Hadramaut terhadap keutamaan Ahmad al-Muhājir, diikuti dengan keinginan mereka untuk mengukuhkan nasab beliau:
لما قدم أحمد بن عيسى اعترف له أهل حضرموت بالفضل وما أنكروه ، ثم إنهم بعد ذلك أرادوا إقامة البينة توكيدا لما ادعوه ، وكان بتريم إذ ذاك ثلاث مئة مفت ، فسار الإمام المحدث علي بن محمد بن جديد إلى العراق ورجع بالنِّسْبَة الشريفة
Terjemahan:
"Ketika Ahmad bin 'Īsā datang, penduduk Hadramaut mengakui keutamaannya dan tidak mengingkarinya. Kemudian, mereka ingin mengukuhkan nasabnya sebagai penguatan atas apa yang telah mereka akui. Saat itu, di Tarim terdapat tiga ratus mufti. Maka Imam, muhaddits 'Ali bin Muhammad bin Jadīd, pergi ke Irak dan kembali dengan membawa nasab yang mulia."
Namun, menurut saya, pembacaan Kyai Kholili ini berbeda dengan apa yang dipahami oleh sebagian besar pakar nasab dan sejarawan. Mereka cenderung melihat redaksi ini sebagai pengukuhan, bukan sebagai keraguan yang berlarut-larut. Sumber-sumber seperti Jawāhir Tārīkh al-Ahqāf karya Muhammad bin 'Ālī Bāhannān dan al-Tuhfah al-Nurāniyyah karya Ahmad Bawāzir menegaskan bahwa validitas nasab Ba'alawi telah diakui, bukan diragukan.
Saya juga menemukan bahwa ada bagian penting yang terlewatkan dalam penjelasan Kyai Kholili, yakni mengenai rentang waktu antara hijrahnya Ahmad al-Muhājir dan pengutusan 'Alī Jadīd ke Bashrah, yang mencakup sekitar dua abad. Hal ini memberikan konteks yang berbeda terhadap isu nasab tersebut, yang sebenarnya telah selesai pada masa Ahmad al-Muhājir dan kembali diperkuat pada masa 'Alī Jadīd.
2. Pengukuhan Nasab dalam Dua Periode
Shālih al-Hāmid dalam Tārīkh Hadramaut menjelaskan bahwa "itsbat nasab" atau pengukuhan nasab terjadi dua kali: pertama, pada masa kedatangan Ahmad bin 'Īsā, dan kedua, dua abad kemudian, pada masa 'Alī Jadīd. Kedua peristiwa ini mencerminkan penguatan terhadap keabsahan nasab Bā'alawī yang telah diterima secara luas di kalangan ulama dan sejarawan. Menurut al-Hāmid, pengukuhan kedua ini diperlukan karena lamanya rentang waktu dan pergantian generasi, yang memunculkan kebutuhan untuk mempertegas kembali validitas nasab tersebut.
"ثم بعد دهر وزمان ، وتقادم سنين واعوام اراد بعض أئمة ذلك الزمان اعترافه بفضلهم وحرمتهم وشريف نسبتهم ان توطد وتوكد تلك النسبة الأحمدية والوصلة المحمدية بتحقيق بينة ، وإشراق بصيرة شرعية ، وكان بتريم حضرموت ذلك الوقت من جموع العلماء خلائق لا يحصون ، وكان المفتون منهم في ذلك ثلاثمائة مفت، فسار الفقيه الأوحد والامام الامجد ، والبحر المعتمد وحيد ،وقته وغريب دهره الشريف الحسيني علي بن محمد ابن ابي جديد، وهو من ذرية الشيخ جديد بن عبد الله بن احمد بن عيسى رضي الله عنهم ونفع بهم الى البصرة."
Terjemahan:
"Kemudian, setelah berlalu masa yang panjang dan bertahun-tahun lamanya, sebagian ulama besar di zaman itu yang mengakui keutamaan, kehormatan, dan nasab mulia mereka, berkeinginan untuk memperkokoh dan menguatkan nasab Ahmad serta hubungan dengan Rasulullah melalui bukti yang sah dan penerangan melalui cahaya syariat. Di Tarim Hadramaut waktu itu terdapat banyak sekali ulama yang tak terhitung jumlahnya, di antaranya ada tiga ratus mufti. Maka seorang faqih yang unggul, imam yang mulia, dan lautan ilmu yang menjadi sandaran, yang tiada bandingannya di masanya, yaitu Al-Habib al-Husayni 'Ali bin Muhammad bin Jadīd, yang merupakan keturunan Syaikh Jadīd bin 'Abdullah bin Ahmad bin 'Īsā, semoga Allah meridhoi mereka semua, pergi ke Bashrah."
3. Istilah Bā'alawī dan Makna Sejarahnya
Kyai Kholili juga mengutip al-Syillī dalam al-Masyra' al-Rawī untuk mendukung keraguan terhadap nasab Bā'alawī. Namun, saya berpendapat bahwa kutipan tersebut lebih menyoroti kebingungan mengenai istilah sebutan atau penamaan "Bā'alawī" (nisbat) yang berbeda dengan kontek bahasa arab, daripada mempertanyakan ke-sayidan keturunan Ahmad bin 'Īsā.
"فزعم أن قولهم آل باعلوي يدل على أنهم من ذرية علي من غير الحسن والحسين وقد وقع هذا أيضًا لأبناء هذا الوقت ممن كبه الخزي والمقت"
Terjemahan:
"Dia beranggapan bahwa istilah mereka 'Al Bā'alawī' menunjukkan bahwa mereka adalah keturunan 'Ali dari selain Hasan dan Husain. Pandangan ini juga terjadi pada orang-orang di masa ini yang diliputi oleh kehinaan dan kemarahan."
Al-Syillī menjelaskan bahwa istilah ini adalah bagian dari tradisi lokal Hadramaut dan bukan bukti keraguan terhadap nasab.
"وهذا الزعم البارد، الذي لا يصدر إلا من جاهل معاند ، مدفوع بأن هذا عرف لأهل الديار الحضرمية، وإن لم يكن من وضع العربية فيلزمون الكنية الألف بكل حال على لغة القصر فيقولون لبني حسن باحسن ولبني حسين با حسين، ولبني علوي باعلوي"
Terjemahan:
"Dan anggapan yang dingin ini, yang tidak keluar kecuali dari orang bodoh yang keras kepala, dibantah dengan kenyataan bahwa ini adalah adat bagi penduduk Hadramaut, meskipun tidak sesuai dengan bahasa Arab. Mereka menambahkan huruf 'alif' dalam setiap nama, seperti mengatakan 'Bāhassan' untuk keturunan Hasan, 'Bāhussein' untuk keturunan Husain, dan 'Bā'alawī' untuk keturunan 'Alī."
Kesalahan dalam memahami istilah ini mungkin telah menyebabkan beberapa pihak salah mengerti mengenai status nasab Bā'alawī. Namun, penting untuk dicatat bahwa perjalanan 'Alī Jadīd ke Bashrah bertujuan untuk mengukuhkan nasab keturunan Ahmad al-Muhājir, bukan untuk membuktikan sesuatu yang diragukan sejak awal.
4. Kesimpulan
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan perspektif alternatif terhadap pembacaan Kyai Kholili Kholil tentang nasab Ahmad al-Muhājir. Saya setuju bahwa pembacaan dan interpretasi bisa berbeda, namun penting untuk melihat keseluruhan konteks sejarah dan referensi yang ada. Pengukuhan nasab yang dilakukan dua kali menunjukkan bahwa nasab Bā'alawī telah diterima dengan baik dan tidak seharusnya menjadi objek keraguan yang berkelanjutan.
"وقد ذكر علماء هذا الفنّ حكاية تشير إلى تفاصيل أصله وتدل عليه بمختصر القول وفصله وهي أن السادة بني علوي لما استقروا بحضرموت أراد بعض أئمة ذلك الزمان أن يؤكد تلك النسبة المحمدية، والوصلة الأحمدية، فطلب منهم تصحيح نسبهم الشريف، وتحقيق شرفهم المنيف بحجة شرعية وأدلة مرضية والظاهر أن الحامل له بعض من عنده نزغة أباضية، أو شغفة شيطانية، فسافر الإمام شيخ الإسلام الحافظ المجتهد بو الحسن علي بن محمد بن جديد إلى العراق وأثبت نسبهم وأشهد على ذلك حو مائة عدل ممن يريد الحج ثم أثبت ذلك بمكة المشرفة، وأشهد على ذلك بع من حج من أهل ،حضرموت فقدم هؤلاء الشهود في يوم مشهود هدوا بثبوت نسبتهم المحمدية وسلسلتهم ،النبوية، وجرت في ذلك اليوم اء أعجب بها ،كماته وسلم الفضل لهم حماته، فعند ذلك انقشعت سحب الاوهام، وتبلجت غرة الشرف وأميط عنها اللثام."
Terjemahan:
"Para ulama dalam ilmu ini menyebutkan sebuah kisah yang menunjukkan rincian asal usul mereka dan menjelaskannya secara ringkas, bahwa ketika Bani Alawiyah menetap di Hadramaut, sebagian ulama besar di zaman itu ingin meneguhkan nasab mereka yang bersambung kepada Rasulullah, serta hubungan mereka yang mulia dengan Ahmad al-Muhājir. Mereka diminta untuk menguatkan nasab mulia mereka dengan dalil-dalil syar’i yang memuaskan. Tampaknya yang mendorong hal ini adalah bisikan dari ajaran Ibadhi atau dorongan setan. Maka Imam, Hafiz, Mujtahid, Abul Hasan 'Ali bin Muhammad bin Jadīd pergi ke Irak dan menetapkan nasab mereka, lalu menyaksikan hal tersebut dengan seratus saksi dari orang-orang yang ingin berhaji. Kemudian, ia menetapkannya di Makkah yang mulia, dan menyaksikan hal tersebut bersama dengan para hujjah dari Hadramaut yang berhaji. Para saksi ini datang pada hari yang disaksikan, dan mereka menetapkan bahwa nasab mereka yang bersambung kepada Rasulullah serta keturunan yang bersambung kepada Nabi Muhammad adalah sah. Pada hari itu, berkah turun, dan syukur dipanjatkan kepada Allah, hingga hilanglah keraguan, dan kemuliaan nasab mereka menjadi jelas tanpa keraguan lagi."
Saya membuka ruang untuk diskusi lebih lanjut, dan saya harap pandangan ini dapat memperkaya pemahaman kita bersama mengenai isu nasab dalam tradisi Islam.
Semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat menjadi bagian dari dialog yang konstruktif. Mari kita berdiskusi dengan santai dan rileks, sambil memperdalam pemahaman kita mengenai bab nasab.
0 Komentar