1. Menstruasi:
2. Gejala dan Pengalaman:
3. Kebersihan dan Perawatan:
4. Norma dan Tradisi:
5. Kesehatan Reproduksi:
6. Pendidikan Seksual:
7. Dukungan dan Pengertian:
Hukum Menggauli Istri Sedang Haidh
Imam Nawawi Rahimahullah berkata:
فَاعْلَمْ أَنَّ الْمُسْتَحَاضَةَ لَهَا حُكْمُ
الطَّاهِرَاتِ فِي مُعْظَمِ الْأَحْكَامِ فَيَجُوزُ لِزَوْجِهَا وَطْؤُهَا فِي حَالِ
جَرَيَانِ الدَّمِ عِنْدَنَا وعند جمهور العلماء حكاه بن المنذر في الاشراق عن بن عباس
وبن الْمُسَيِّبِ وَالْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ وَعَطَاءٍ وَسَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ وَقَتَادَةَ
وَحَمَّادِ بْنِ أَبِي سُلَيْمَانَ وَبَكْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْمُزَنِيِّ وَالْأَوْزَاعِيِّ
وَالثَّوْرِيِّ وَمَالِكٍ وَإِسْحَاقَ وابي ثور
Ketahuilah bahwasanya wanita
mustahadhah dihukumi suci, sehingga seorang suami boleh menyetubuhinya pada
saat mengalirnya darah tersebut menurut pendapat kami dan jumhur ulama.
Pendapat ini dikatakan oleh Ibnu
Al-Mundzir di dalam Al-lsyraq dari Ibnu Abbas, Ibnu Al-Musayyib, Al-Hasan
Al-Bashri, Atha', Said bin Jubair, Qatadah, Hammad bin Abi Sulaiman, Bakar bin
Abdullah Al-Muzari, Al-Auza'i, Ats-Tsauri, Malik,Ishaq, dan Abu Tsaur.
قال بن الْمُنْذِرِ وَبِهِ أَقُولُ قَالَ وَرَوَيْنَا
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ لَا يَأْتِيهَا زَوْجُهَا
وَبِهِ قَالَ النَّخَعِيُّ وَالْحَكَمُ وَكَرِهَهُ ابْنُ سيرين
Ibnu Al-Mundzir berkata,
"Mengenai hal itu saya katakan, ia berkata, "Dan kami riwayatkan dari
Aisyah Rndhiyallahu Anha, bahwa ia berkata: "suaminya tidak boleh
menyetubuhinya." Hal itu juga disebutkan oleh An-Nakha'i dan Al-Hakam,
sementara Ibnu Sirin menghukumi makruh.
وقال أحمد لايأتيها الاأن يَطُولَ ذَلِكَ بِهَا
وَفِي رِوَايَةٍ عَنْهُ رَحِمَهُ الله تعالى أنه لايجوز وَطْؤُهَا إِلَّا أَنْ يَخَافَ
زَوْجُهَا الْعَنَتَ
Imam Ahmad juga berkata,
"suaminya tidak boleh menyetubuhinya, kecuali jika waktu istihadhah
berlangsung dalam waktu yang lama."
Dalam riwayat lain darinya
mengatakan tidak bolehnya menyetubuhi wanita istihadhah, kecuali apabila sang
suami merasa khawatir akan terjatuh pada kemaksiatan.
وَالْمُخْتَارُ مَا قَدَّمْنَاهُ عَنِ الْجُمْهُورِ
وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِ مَا رَوَى عِكْرِمَةُ عَنْ حَمْنَةَ بِنْتِ جَحْشٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا أَنَّهَا كَانَتْ مُسْتَحَاضَةً وَكَانَ زَوْجُهَا يُجَامِعُهَا رَوَاهُ أَبُو
دَاوُدَ وَالْبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُمَا بِهَذَا اللَّفْظِ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ
Pendapat yang terpilih adalah
sebagaimana yang telah kami kemukakan dari jumhur. Dalilnya adalah apa yang
diriwayatkan oleh Ikrimah dari Hamnah binti jahsy Radhiyallahu Anha, bahwa ia
termasuk wanita mustahadhah, sementara suaminya menyetubuhinya." Hadits
ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Al-Baihaqi, dan selain keduanya dengan
lafazhini dan sanadnya hasan.
قَالَ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ قال بن عَبَّاسٍ
الْمُسْتَحَاضَةُ يَأْتِيهَا زَوْجُهَا إِذَا صَلَّتْ الصَّلَاةُ أَعْظَمُ وَلِأَنَّ
الْمُسْتَحَاضَةَ كَالطَّاهِرَةِ فِي الصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ وَغَيْرِهِمَا فَكَذَا
فِي الْجِمَاعِ وَلِأَنَّ التَّحْرِيمَ إِنَّمَا يَثْبُتُ بِالشَّرْعِ وَلَمْ يَرِدِ
الشَّرْعُ بِتَحْرِيمِهِ وَاللَّهُ أعلم
Imam Bukhari dalam shahihnya
menyebutkan, Ibnu Abbas berkata, "Wanita mustahadhah boleh disetubuhi
apabila ia (saja) boleh (melakukan) shalat, padahal shalat adalah perkara yang
sangat agung dan karena wanita mustahadhah dihukumi suci sehingga boleh
melakukan shalat dan puasa serta lainnya, demikian juga jima dan karena
pengharaman itu akan berlaku apabila ada dalil yang menetapkannya, sementara
tidak ada dalil yang mengharamkan hal itu.
Wallahu A'lam
]النووي، شرح النووي على مسلم، ١٧/٤[
Sumber; Kitab Syarah Nawawi ala Muslim juz 3 hal 17
HUKUM IBADAH WANITA ISTIHADZOH
Imam Nawawi Rahimahullah berkata:
وأما الصلاة والصيام والاعتكاف وقرآة الْقُرْآنِ
وَمَسُّ الْمُصْحَفِ وَحَمْلُهُ وَسُجُودُ التِّلَاوَةِ وَسُجُودُ الشُّكْرِ وَوُجُوبُ
الْعِبَادَاتِ عَلَيْهَا فَهِيَ فِي كُلِّ ذَلِكَ كَالطَّاهِرَةِ وَهَذَا مُجْمَعٌ
عَلَيْهِ
Adapun berkenaan dengan shalat,
Puasa, i'tikaf, membaca Al-Qur'an, menyentuh Mushaf dan membawanya, sujud
tilawah, sujud syukur, dan kewajiban-kewajiban ibadah lainnya tetap wajib
atasnya; karena wanita mustahadah dihukumi sebagaimana wanita suci, ini
merupakan hal yang telah menjadi ijma'.
]النووي، شرح النووي على مسلم، ١٧/٤[
Sumber: Kitab Syarah Nawawi ala Muslim juz 4 hal 17
0 Komentar